Rabu, 01 September 2010

Menyeruak Clutter dengan Iklan Tematik

Di tengah clutter-nya iklan telco, yang kerap menyodorkan perang tarif, Axis mencoba keluar dengan iklan tematic. Bocah bernama Amir pun dimunculkan, demi memvisualisasikan brand Axis.

Penulis/Peliput: Dwi Wulandari Foto: Media Banc

Amir, 12 tahun, Jogja. Bocah laki-laki berambut keriting, berkacamata, dan berkulit agak hitam itu tampak meneropong layang-layang putus di atap sebuah rumah. Dengan penuh semangat dan pantang menyerah, Amir menelusuri lorong gang sekadar untuk menjemput layangan putus tadi. ”La-yang, la-yang, terbang melayang,” demikian jingle iklan yang turut menelusup setiap langkah gerak Amir.

Barangkali Anda masih ingat dengan cerita dan jingle tersebut? Ya, jika Anda sempat seharian nongkrong di depan layar TV, pasti Anda akan sempat menyimak apiknya cerita iklan besutan biro iklan Lowe itu. Maklum saja, iklan komersial milik Axis itu, sejak akhir November sampai sekarang memang gencar penayangannya di tujuh stasiun TV nasional. Bahkan, kalau Anda sempat menyambangi bioskop Blitz Megaplex di Grand Indonesia misalnya, sebagai sajian pembuka, selama 60 detik Anda akan menikmati iklan Axis versi ”Amir dan Layang-layang” itu.

Di tengah clutter-nya iklan operator dari incumbent yang kerap menjurus pada perang tarif, sebagai pendatang anyar, Axis mencoba menyajikan iklan berbau tematik tersebut. ”Di industri telekomunikasi, iklan TV kami menjadi suatu angin baru. Iklan tersebut bukan saja menarik secara visualisasi, namun juga memiliki arti yang mendalam bagi mereka yang ingin tahu lebih jauh tentang Axis,” jelas Johan Buse, Chief Marketing Officer Axis Indonesia.


Cerita iklan tadi tak tuntas di adegan pengejaran layang-layang. Kisah Amir berlanjut hingga inisiatifnya untuk membuat layang-layang secara mandiri. Dengan penuh inspirasi, Amir mencipta karya yang inovatif. Misalnya, membuat layang-layang bertema ikan, dan sebagainya.

Menariknya, Amir yang juga cerdas, menawarkan harga yang kompetitif dibandingkan harga layang-layang yang ada di pasaran. Cukup Rp 1.000 per dua buah layang-layang. Sementara, kompetitor mematok harga Rp 1.500 hingga Rp 3.000 per layang-layangnya. Hasilnya, anak-anak pun lebih memilih membeli layang-layang terbaik buatan Amir.

Dipaparkan Johan, karakter Amir dalam tayangan iklan tadi merupakan personifikasi dari Axis yang bersemangat dan tidak pernah menyerah dalam menghadirkan sesuatu yang berbeda dan inovasi sesuai dengan kebutuhan pasar. ”Semua itu dihadirkan ke pasar dengan penawaran yang kompetitif bagi konsumen,” tegasnya.

Ide kreatif dari iklan berdurasi 30 detik dan 60 detik itu adalah ingin menampilkan secara visual brand Axis berserta nilai-nilai yang ada di dalamnya. Iklan tersebut memvisualisasikan Axis yang selalu bersemangat, inovatif, dan kompetitif dalam memberikan penawaran terbaik pada pelanggan.

Johan menegaskan, ”Pesan iklan itu sesuai dengan misi Axis, yakni menjadikan layanan GSM dan 3G terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia.” Jangan heran, kalau Axis pun memilih tagline: Axis, GSM yang Baik. Tagline itulah yang kemudian selalu dibunyikan di setiap penutup iklan Axis. Tak terkecuali, sebagai penutup iklan ”Amir dan Layang-layang”.

Diakuinya, iklan membuat pemirsa lebih mengenal Axis sebagai sebuah brand. Sebab, Axis adalah brand GSM/3G terbaru di Indonesia. ”Pertumbuhan Axis juga tergolong tercepat,” Johan mengklaim. Namun demikian, cerita iklan itu juga terintegrasi dengan saluran komunikasi yang lain. Sebut saja, iklan cetak, billboard, maupun TVC di bioskop.

Yang terpenting, lanjutnya, iklan Axis itu juga terintegrasi dengan penawaran nyata Axis yang dapat dinikmati pelanggan. Dituturkan Johan, berbarengan dengan iklan itu, Axis bakal meluncurkan inovasi terbaik di akhir tahun. Semua pelanggan akan mendapatkan bonus 1000 SMS dan 1000 MMS setiap bulannya di sepanjang tahun 2009 ke semua nomor Axis. ”Di sini kita bisa lihat bahwa iklan tersebut tidak hanya sebuah brand campaign, namun juga sebuah campaign yang terintegrasi dengan hal yang nyata,” ungkap Johan.


Adi ”Seseq” Noegroho, Creative Director Narrada Communications:

Bisa Jadi Menabur Garam di Lautan

Secara konsep, sebuah analogi iklan seperti itu bukan barang baru sebenarnya. Tapi, di tengah perang iklan tactical yang semuanya perang harga di industri telco, tiba-tiba masih ada yang mau "ber-tematik-ria" seperti Axis, lumayan jadi oase buat audience untuk bernapas. Apalagi, eksekusinya pun lumayan bagus dengan musik dan visual yang sinergis.

Hanya saja, ada satu masalah di eksekusi yang membuat saya mengganggu. Yaitu, soal casting karakter Amir, yang buat saya, agak "terlalu urban". Tapi, bisa saya mengerti. Pasti, klien tidak mau anak yang terlalu "kampung" demi image brand.

Mengenai obyektif dan pesan Axis yang ditampilkan lewat karakter Amir yang bersemangat, tidak pantang menyerah, inovatif, dan kompetitif lewat iklan tersebut, menurut saya, adalah strategi yang kurang tepat. Atau, at least belum saatnya. Axis, kan, masih berumur jagung. Belum punya track record apa-apa. Apalagi, soal inovasi dan harga kompetitif. Bagi sebuah brand, meyakinkan konsumen dengan cara "menepuk dada" seperti itu rasanya kurang efektif kalau tanpa ada pembuktian.

Selain itu, saya terganggu juga dengan copy "KOMPETITIF". Karena, bagi saya "KOMPETITIF" dan "HARGA YANG KOMPETITIF", punya perbedaan yang cukup signifikan. Bagi iklan telco, iklan ini bisa mencuri perhatian. Tapi, apakah iklan telco memang butuh tematik? Jangan-jangan malah tidak. Apalagi mengangkat sebuah value yang belum registered di benak konsumen menjadi milik brand tersebut, bisa jadi cuma akan "menabur garam di lautan".

Placement secara channel, rasanya sudah cukup. Mungkin kalau mau ditambahkan di medium internet, yang rasanya saya belum terpapar oleh iklan mereka di internet.

Satu hal yang juga mengganggu adalah kebiasaan kreatif yang menggunakan "turunan dari TVC" untuk channel billboard atau print. Biasanya, cuma menunjukkan foto si talent, dan copy yang sama dengan TVC. Istilah saya adalah "TVC yang di-still-image-kan". Artinya, audience yang melihat iklan print/billboard-nya saja, tidak akan mengerti kenapa Amir itu inspiratif bagi Axis--kalau audience tersebut tidak melihat TVC-nya.

Hal itu sangat berbahaya buat brand, karena menurut saya, seharusnya sebuah output kreatif di sebuah medium harus bisa bekerja stand-alone, tanpa mengharapkan bantuan dari output kreatif di medium lain. Medium lain harusnya bersifat lebih sinergis, bukan "tolong menolong".


Sumber : mix.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar