Sabtu, 11 September 2010

Konstitutif vs konstruktif

oleh Djito Kasilo

Konon, di dunia itu ada ujud konstitusif (semacam kodrat) dan ujud konstruktif (hasil bentukan). “Wanita bisa hamil” atau “kayu bisa terbakar”, adalah realitas konstitusif. Karena emang begitulah adanya. Sedangkan “kulit cerah/putih itu cantik”, adalah realitas bentukan/konstruktif. Bayangkan kalau sejak dulu penguasa dunia adalah bangsa Afrika, mungkin sekarang kita meng-iya-kan bentukan bahwa cantik itu berkulit hitam dan berambut keriting.

Sebagai orang iklan, sebetulnya masalah konstitusif- konstruktif ini bukan hal asing. Toh tiap hari kita bermain2 dengannya. Sejak mecerna insight, kita sudah memilah2 konstitusi dan konstruksi benak target audience. Sampai akhirnya kita lakukan bentukan2 konstruksi baru di benak mereka melalui kata, gambar, suara, theatre of mind, testimony, manipulasi DI, dll.

Seperti halnya tangan, kaki, mata, ataupun telinga, alat kelamin itu sebagai benda yang konstitusif. Tapi istilahnya menjadi masalah konstruktif. Ada bentukan yang membuat kata alat kelamin lebih di-iya-kan dari pada kata kontol. Seperti halnya jaman orba, kata penyesuaian harga lebih di-iya-kan dari pada kata kenaikan harga.

Sebagai milisnya orang2 kreatif periklanan, bukankah lebih menarik mendiskusikan “konstruksi kata” dari pada meributkan kontolnya. Tentu saja kita harus bersikap sedewasa dokter kandungan melihat wanita membuka selangkangan di ruang prakteknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar